Makalah Maslahah Mursalah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Allah
menurunkan agama islam kepada umatnya disertai dengan aturan-aturan
hukum.aturan-aturan tersebut di buat oleh Allah agar manusia selamat hidup di
dunia sampai keakhirat kelak. Agama islam beserta aturan-aturan (hukum) yang
dibuat oleh Allah tersebut merupakan wahyu, diturunkan kepada Nabi dan
Rasul-Nya melalui perantara malaikat Jibril. Sedangkan Nabi dan Rasul terakhir
adalah Muhammad SAW.
Wahyu
yang diturunkan oleh Allah tersebut, adakalanya untuk menyelesaikan persoalan
hukum yang dihadapi oleh umat islam kala itu, dan dalam ilmu Al-qur’an dikenal
dengan istilah Asbabun-Nuzul atau sebab-sebab turunnya wahyu (ayat Al-qur’an), namun
apabila Allah tidak menurunkan wahyu kepada Nabi atau Rasul untuk menyelesaikan
persoalan hukum tertentu yang sedang di hadapi umat islam kala itu, maka Nabi
melakukan ijtihad, menggali hukumnya (isthinbat), kemudian hasil ijtihad Nabi
tersebut disebut dengan al-sunnah (qauliyah,fi’liyah dan,taqriryah). Dengan
demikian terlihat bahwa,sumber hukum islam semasa Nabi Muhammad SAW, hidup
hanya dua yaitu: Al-qur’an dan Al-sunnah nabi hanya sebagai empirisasi wahyu
Allah.
Seiring
dengan wafatnya Nabi Muhammad s.a.w., meluasnya wilayah kekuasaan Islam,
terpencarnya para sahabat Nabi ke berbagai wilayah, dan banyaknya para sahabat
yang gugur dalam pertempuran, maka umat Islam mendapat tantangan baru di bidang
hukum, karena kadang kala masalah (hukum) yang sedang dihadapi tidak ada
hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dan dalam rangka menyelesaikan
persoalan-persoalan hukum baru yang sedang dihadapi tersebut, para sahabat
selalu ber-ijtihad, dan mereka dapat dengan mudah menemukan hukum atas masalah-masalah
yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu karena para sahabat sangat
mengenal tekhnik Nabi ber-ijtihad. Hasil ijtihad para sahabat
tersebut, jika tidak dibantah oleh sahabat Nabi yang lainnya, maka dianggap ijma’
para sahabat. Sebaliknya, jika hasil ijtihad sahabat Nabi tersebut
dibantah oleh sahabat Nabi yang lain, maka hasil ijtihad sahabat Nabi tersebut
tidak dapat dianggap sebagai ijma’ para sahabat, melainkan hanya
pendapat pribadi para sahabat Nabi tentang persoalan-persoalan (hukum)
tertentu. Dengan demikian terlihat bahwa, sumber hukum Islam pada masa sahabat
hanya tiga yaitu; Al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat.
Seiring
dengan berjalannya waktu, dan wafatnya para sahabat Nabi, maka otoritas tasri’
jatuh ke tangan generasi tabi’in kemudian tabi’tabi’in dan
seterusnya. Setelah masa sahabat, dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan
hukum yang dihadapi oleh umat Islam, para ulama tetap berpegang teguh kepada
al-Qur’an, al- Sunnah dan ijma’ para sahabat. Namun karena persoalan
hukum yang dihadapi oleh umat Islam selalu berkembang dan merupakan persoalan
hukum baru, di mana dalam al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ para sahabat
tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama dalam mengagali hukumnya, memakai
beberapa metode istinbath hukum di antaranya; maslahah-mursalah atau
istislah (Imam Malik), Istihsan (Imam Hanafi), qiyas (Imam
Syafi’i), istishab Imam Ahmad bin Hambal dan lain sebagainya.
Beberapa
metode istinbath hukum yang dipakai oleh para imam mujtahid di atas,
metode qiyas mendapat tempat di hati sebagian besar ulama dan umat Islam
karena berdasarkan kepada nass-nass (al-Qur’an dan atau al-Sunnah)
tertentu. Mayoritas ulama menerima qiyas sebagai sumber hukum Islam yang
keempat setelah al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ para sahabat. Sedangkan
metode istinbath hukum yang lainnya, termasuk maslahah-mursalah atau
istislah yang diperkenalkan oleh Imam Malik selalu diperdebatkan, bahkan
ditolak oleh mayoritas penganut mazhab asy-Syafi’iyah. Untuk itu tulisan ini
mencoba menguraikan, pertama apa yang dimaksud dengan maslahah-mursalah?
lapangan istilah dan kehujahannya? syarat-syarat penggunaannya? dan dalil-dalil
nya?.
B. Rumusan
masalah
1.
Apa
pengertian maslahah mursalah?.
2.
Apa
kehujjahan maslahah mursalah?.
3.
Apa saja
syarat-syarat maslahah mursalah?.
C. Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah
ini sebagai berikut ;
1.
Memperdalam
wawasan tentang pengetahuan islam dan penerapannya dalam perilaku sehari-hari.
2.
Mempresentasikan
manfaat-manfaat yang dapat dengan adanya pengetahuan tentang maslahah mursalah.
3.
Untuk
mendapat pemahaman yang sempurna tentang maslahah mursalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah menurut bahasa
adalah mencari kemaslahatan sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya
atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan semata (yang oleh syara’ tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang)
atau bila juga sebagi menberikan hukum syara’
kepada suatu kasus yang tidak ada dalam nas atau ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan.
Tiga macam
kemaslahatan :
1.
Kemaslahatan yang
ditegaskan dalam Al-Qur’an atau Sunnah , kemaslahatan ini disepakati para ulama’. Contohnya Hifdu nafsi, hifdu mal, dan lain
sebagainya.
2.
Kemaslahatan yang
bertentangan dengan nash syara’ qath’i.
Jumhur ulam menolak kemaslahantan ini kecuali Najmuddin Athufi dari Mazhab
Maliki, sedangkan dalam bertentangkan dengan nash yang dari para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
3.
Kemaslahatan yang
tidak dinyatakan dalam syara’, tetapi
tidak ada dalil yang menolaknya. Inilah yang dimaksud dalam mursalah, para ulama
berbeda pendapat dalam hal ini, para ulama yang menolak menggunakan istihsan juga menolak pengunaan maslahah mursalah.
B.
Lapangan istilah dan kehujjahanya.
Istilah tidak
berlaku dalam bidang ibadah, karena dalam hukum-hukum ibadah adalah ta’abudi, adapun selain dalam bidang ibadah dan selain
ketentuan-ketentuan yang qat’i yang
ditetapkan dalam bidang muamalah, dalam bidang ta’zir, pembuktian perkara-perkara yang lain, para ualama berbeda
pendapat dalam hal ini Imam Malik dan Ahmad
berpendapat bahwa maslahah mursalah adalah
salah satu jalan menetapkan hukum yang tidak ada nash dan tidak ada pula ijma’
terhadapnya. Menurut mereka maslahah mursalah
yang tidak ditunjuki oleh syara’ dan
tjidak pula dibatalkan dapat dijadikan dasar istimbat.
Jumhur ulama mengangap maslahah mursalah sebagai hujjah
syari’ah , sekalipun dengan nama yang berbeda-beda. Adapun alasan pengunaan
maslahah mursalah sebagai dasar syar’i
di antarnya:
1.
Kemaslahatan yang
diharapkan manuia itu tumbuh dan bertambah. Sekiranya hukum tidak menampung
untuk menetapkan kemaslahatna manusia yang dapat diterima, berarti kurang
sempurna syari’at itu , atau bekuilah
syari’at itu . padahal nyatalah tidak
demikian.
2. Kalau
di amati benar-benar, para sahabat dan tabi’in serta para imam mujtahid, mereka
telah menetapkan hukum-hukum berdasarkan kemaslahaan, seperti Abu Bakar
memerintahkan untuk menyususn mushaf
yang sebelumya terumpul.
C. Syarat-syarat penggunaan Maslahah Mursalah.
1.
Al Maslahah Mursalah tidak boleh
bertentangan dengan Maqosid Al Syari’ah., dalil-dalil kulli’ semangat ajaran
islam dan dalil-dalil juz’i yang qathi wurud dan dalalahnya.
2.
Kemaslahatan
tersebut harus menyakinkan dalam arti harus ada pembahasan dan penilitian yang
rasional serta mendalam sehingga kita yakin menberikan manfaat atau menolak
kemudharatan.
3.
Kemaslahatan itu
bersifat umum.
4.
Pelaksanaan tidak
menimbulkan kesulitan yang tidak wajar.
Dengan adanya cara
berrijtihad dengan istihsan dan istihlah menyebabkan hukum islam akan dapat
menampung hal-hal yang baru dengan tetap tidak akan kehilangan indentitasnya
sebagai hukum islam.
D.
Dalil-dalil Maslahah Mursalah.
Maslahah mursalah yaitu kemaslahatan
yang tidak didukung oleh dalil syariat dan nash
secara rinci, namun ia mendapat dukungan kuat dari makna implisit sejumlah nash yang ada.
Jadi maslahah ini adalah satu keadaan dimana
tiada dalil yang khas dari pada syara’
yang mengi’tibarkannya dan tidak ada hukum yang telah di nashkan oleh syara’ yang menyerupainya, yang mana
boleh dihubungkan hukumnya melalui dalil qiyas.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Maslahat terbagi tiga yaitu; yang
dibenarkan oleh syara’, ditolak oleh syara’ dan yang
diperselisihkan. Ulama telah berkonsensus, maslahat kategori pertama diterima
sebagai hujjah dan kategori kedua ditolak sebagai hujjah. Sedangkan
maslahat kategori ketiga diperselisihkan karena tidak ada dalil yang membenarkan
maupun yang melarangnya, dan inilah yang menjadi kajian dari maslahah-mursalah
atau istislah. Sekelompok umat Islam menolak maslahah-mursalah sebagai
hujjah dengan alasan; menerima maslahah-mursalah kategori
ketiga sebagai hujjah berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada
sesuatu yang meragukan, dan ini menodai kesucian hukum Islam. Penetapannya
tidak berdasarkan kepada nass, tetapi hanya mengikuti keinginan hawa
nafsu dengan dalih maslahat. Dengan demikian menyalahi prinsip Islam sudah lengkap
dan sempurna.
Pendapat di atas dapat disanggah dengan
beberapa alasan, memandang maslahat sebagai hujjah tidak berarti
mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang diragukan, sebab maslahat
tersebut ditentukan lewat sekian banyak dalil dan pertimbangan. Tidak benar
kalau penetapan hukum Islam melalui metode maslahah-mursalah berarti
menetapkan hukum Islam berdasarkan kepada hawa nafsu, karena untuk dapat
dijadikan sebagai hujjah, maslahah-mursalah harus memenuhi
persyaratan tertentu, tidak asal maslahat. Islam memang telah lengkap dan sempurna
tetapi yang dimaksud dengan lengkap dan sempurna tersebut adalah pokok-pokok ajaran
dan prinsip-prinsip hukumnya. Tidak benar kalau memandang maslahah-mursalah sebagai
hujjah akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan
hukum Islam, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Dengan menggunakan metode maslahah-mursalah
dalam menetapkan hukum Islam, prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan
hukum Islam dapat dibuktikan.
B.
SARAN
Menerima maslahat sebagai hujjah haruslah
melalui persyaratan tertentu, minimalnya tidak bertentangan dengan al-Qur’an,
as-Sunnah dan ijma’, harus mengandung kemaslahatan, dan kemaslahatan itu
sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu; dalam rangka memilihara
agama, akal, jiwa, harta dan keturunan atau kehormatan. Sedangkan ruang lingkup
operasionalnya hanya di bidang muamalah dan sejenisnya, tidak berlaku di bidang
ibadah. Namun karena para ulama terdahulu memakai istilah yang berbeda untuk maslahah-mursalah,
maka timbul anggapan bahwa imam tertentu (al-Ghazali) tidak konsisten
menggunakan maslahah mursalah sebagai dasar penetapan hukum Islam,
bahkan di antara imam tersebut ada yang dianggap menolak (asy-Syafi’i) maslahat
sebagai dasar dalam penetapan hukum Islam.
Komentar
Posting Komentar